Fenomena
masyarakat modern yang cenderung menjadi masyarakat hedonis dan materialis
menjadi sebuah problematika umat saat ini, salah satu kriteria masyarakat hedonis dan matrelialis
adalah cenderung ingin bebas dari belenggu agama utamanya dalam urusan hablum
minan nash (hubungan sosial antar manusia),
Contoh konkritnya adalah permasalahan free sex (sex bebas) dan cendrung
tidak ingin menikah tapi suka kawin/hubungan sex utamanya bagi para remaja yang
akan menginjak dewasa. Terdapat banyak faktor yang melatar belakangangi
penundanaan pernikahan diantaranya adalah masalah biaya, masalah pekerjaan,
masalah umur, masalah pendidikan/karir dan lain-lain.
Karya tulis
penelitian hadits ini membahas tentang anjuran menikah bagi para pemuda/pemudi,
yang penulis kaji dengan metode penelitian kepustakaan (Library Research). Sebagai sebuah kajian hadits, peneliti tidak hanya meneliti
secara parsial saja, namun juga dilakukan secara simultan tentang tema anjuran
menikah bagi para pemuda-pemudi, sehingga hasil penelitian ini dapat secara
komprehensif mengkaji dan meninjau makna hadits tersebut, disamping juga
tentang kualitas dan kuantitas dari hadits anjuran menikah ini.
Adapun hasil
dari penelitian ini adalah disimpulkan bahwa hadits yang diteliti secara
kualitas termasuk hadits shahih secara sanad maupun matan, akan tetapi hadits
ini termasuk hadits ahad/gharib karena diriwayatkan oleh seorang sahabat
saja yakni sahabat Abdullah bin Mas’ud Radiallahu anhu.
Terkaid dengan
makna, terdapat perdebatan menarik yang
patut diketahui oleh pembaca bahwa, yakni perdebatan tentang makna al-baah apakah
diartikan jima’ (hubungan sex) saja ataukah diartikan mahar/biaya
pernikahan, dari
kedua pendapat ini, peneliti mengambil jalan tengah
untuk mengartikan makna baah ini menjadi kekuatan sex dan kekuatan untuk
membayar mahar misl dan menafkahi calon istri, sebagaimana yang telah
ditetapkan oleh beberapa ulama ahli fiqih. Adapun para ulama ahli fiqih
-khususnya kalangan madzhab As-Syafi’i- menyatakan bahwa arti baah ini
adalah seseorang yang mampu berbuat sex (tidak impotent) dan seseorang yang
mampu membayar mahar misl dan mampu menafkahi sang istri secukupnya
selama 24 jam.
Untuk lebih jelasnya arti dan makna hadits yang penulis teliti, silahkan
baca penelitian dibawah ini, semoga bermanfaat.
A.
NAQDUS
SANAD (Penelitian jalur sanad)
1.
Redaksi Hadith
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَأَبُو كُرَيْبٍ قَالاَ حَدَّثَنَا أَبُو
مُعَاوِيَةَ عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- « يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ
الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ ». (اخرجه المسلم)
Artinya: Abu Bakr bin Abi Syaibah da Abu kuraib
meriwayatkan kepadaku mereka berkata Abu Mu’awiyah meriwayatkan dari al-A’masy
dari Umarah bin Umair dari Abdurrahman bin Yazid dari Abdullah dia berkata,
Rasulullah SAW telah bersabda kepada kita wahai para pemuda, barang siapa
diantara kalian telah sanggup menikah (ba’ah) maka menikahlah, sesungguhnya
menikah dapat mencegah dari melihat sesuatu yang terlarang dan dapat
membentengi farji (kemaluan), dan barangsiapa yang belum mampu (ba’ah/menikah)
maka berpuasalah karena sesungguhnya puasa itu adalah penawar/penekan nafsu
syahwat.
2.
Para Periwayat Dan
Biografinya
1)
عَبْدِ اللَّهِ
2) عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ
3) عُمَارَةَ
بْنِ عُمَيْرٍ
4) الأَعْمَشِ
5) أَبُو
مُعَاوِيَةَ
6)
أَبُو كُرَيْب
7)
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ
3.
Uji Kethiqahan Para
Periwayat
Penyajian data-data tentang al-Jarh wa al-Ta’dilnya
para periwayat dalam sanad hadits yang diteliti dan analisisnya dapat
disebutkan sebagai berikut :
1)
عبد الله بن مسعود
Adalah seorang sahabat yang sudah tidak diragukan lagi
keshitqohannya.
2)
عبد الرحمن بن يزيد بن قيس النخعى
1.
Dalam
kitab Tahdzibul Kamal hal - juz - disebutkan: ثقة
2.
Dalam
kitab Tahdibut Tahdzib hal: 299 juz: 6 disebutkan: الثقات
3.
Dalam
kitab Taqrib al-Tahdzib hal: 596 juz:1 disebutkan: ثقة
Dari sajian data-data diatas, dapat disimpulkan bahwa Abdurrahman
bin Yazid bin Qaisy adalah periwayat yang tsiqah.
3)
عمارة بن عمير التيمى الكوفى
1.
Dalam
kitab Tahdzibul Kamal hal - juz - disebutkan: ثقة
2.
Dalam
kitab Tahdibut Tahdzib hal: 421 juz: 7 disebutkan: الثقات
3.
Dalam
kitab ma’rifatut thiqqah hal: 163 juz:2 disebutkan: ثقة
Dari sajian data-data diatas, dapat disimpulkan bahwa Umarah bin
Umair at-Tayamy adalah periwayat yang tsiqah.
4)
سليمان بن مهران الأسدى الكاهلى مولاهم ، أبو
محمد الكوفى الأعمش
1.
Dalam
kitab Tahdzibul Kamal hal 76 juz 12 disebutkan: ثقة ثبت
2.
Dalam
kitab Tahdibut Tahdzib hal: 224 juz: 4 disebutkan:
الثقات : فى الأصل : لقى و
حفظ
3.
Dalam
kitab jami’u tahsil fi ahkamil murasil hal: - juz:1 disebutkan:
الإمام مشهور بالتدليس
Dari sajian data-data diatas, dapat disimpulkan bahwa Sulaiman bin
mahr adalah periwayat yang tsiqah, meskipun dia adalah seorang tadlis,
diterangkan dalam kitab Jami’u Tahsil Fi Ahkamil Murasil bahwa
ketadlisannya hanya pada periwayatan sahabat Anas yang dia terima dari Yazid
ar-Ruqasyi
5)
محمد بن خازم التميمى السعدى ، أبو معاوية الضرير
الكوفى
1. Dalam
kitab Tahdzibul Kamal hal - juz - disebutkan: ثقة
2. Dalam
kitab Tahdibut Tahdzib hal: 139 juz: 9 disebutkan:
كان ثقة
، كثير الحديث ، يدلس ، و كان مرجئا
3. Dalam
kitab jami’u tahsil fi ahkamil murasil hal: - juz:1 disebutkan[1]:
dia seorang tadlis
Dari sajian data-data diatas, dapat disimpulkan bahwa Muhammad bin
khozim adalah periwayat yang tsiqah, meskipun dia adalah seorang tadlis,
diterangkan dalam kitab Jami’u Tahsil Fi Ahkamil Murasil bahwa
ketadlisan Abu Mu’awiyyah tidak meriwayatkan dari Abban bin Taghlib.
6)
محمد بن العلاء بن كريب الهمدانى ، أبو كريب
الكوفى ( مشهور بكنيته )
1. Dalam
kitab Tahdzibul Kamal hal - juz - disebutkan: الثقات
2. Dalam
kitab atta’dil wat tarjih Tahdzib hal: 735 juz: 2 disebutkan: صدوق
3. Dalam
kitab tahdibut tahdib hal: 386 juz: 9 disebutkan:
كوفى ثقة
Dari sajian data-data diatas, dapat disimpulkan bahwa Muhammad bin
al-Ala’ adalah periwayat yang tsiqah.
7)
عبد الله بن محمد بن إبراهيم بن عثمان بن خواستى العبسى
مولاهم
1. Dalam
kitab Tahdzibul Kamal hal - juz - disebutkan: ثقة
2. Dalam
kitab assitqat libni Hibban hal: 358 juz: 8 disebutkan:
ثقة حافظ صاحب تصانيف
3. Dalam
kitab tahdibut tahdib hal: 4 juz: 6 disebutkan: ثقة ثبت
Dari sajian data-data diatas, dapat disimpulkan bahwa Abdullah bin
Muhammad bin Ibrahim adalah periwayat yang tsiqah.
4. Uji Persambungan Sanad
Dalam kajian persambungan sanad ini, Semua
perawi mengakui bahwa mereka saling terkaid guru dan murid sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh
sanad hadits ini bersambung (ittishal) sampai Rasulullah SAW.
5.
Pembahasan Derajat Hadith
Secara Kualitas Dan Kuantitas
a.
Kualitas
Dari paparan data
dan analisa tentang tsiqah al-rawi dan ittisal al-sanad dapat
disimpulkan sebagai berikut:
a)
Dilihat dari
kualitas periwayat dapat dinyatakan bahwa seluruh periwayat dalam sanad
termasuk periwayat yang tsiqah.
b)
Semua periwayat
dalam sanad bersambung sanadnya.
Maka dengan demikian bisa
disimpulkan bahwa hadits tentang anjuran menikah ini adalah shahihul –isnad.
Hadits tentang anjuran
menikah ini sejauh yang dikaji, ditemukan beberapa muttabi` dan syahid yang telah
peneliti tulis diatas.
b.
Kuantitas
Sebagaimana yang terlampir di atas, meski terdapat beberapa periwayatan hadits, namun hadits ini hanya
diriwayatkan oleh satu orang sahabat yakni sahabat Abdullah bin Mas’ud RA,
sehingga dapat disimpulkan bahwa hadits ini termasuk hadits gharib atau ahad.
B.
NAQDUL MATAN (ANALISIS
MAKNA HADITH)
1.
Uji Kontra – Tidaknya Makna Hadith dengan Hadith
lain atau dengan Makna Ayat al-Qur`an
Untuk melakukan analisis ada tidaknya syudzudz
dalam hadih riwayat Muslim ini, dilakukan dengan mendatangkan dan
mengkonfirmasikan matan hadis dengan ayat Al-Quran dan sanad lain dalam satu
tema yang makna matannya berlawanan dengan makna matan hadis yang diteliti.
Setelah peneliti mengamati dan membandingkan
hadis ini dengan dalil-dalil naqli lain yang satu tema baik itu ayat
Al-Quran maupun hadis lain yang memilki derajat lebih tinggi, maka peneliti
berkesimpulan bahwa hadits ini terbebas dari unsur syadz, bahkan anjuran
menikah ini sangat dianjurkan oleh ayat al-Qur’an meskipun hal ini sudah
termasuk hukum alam kebutuhan manusia.
2.
Uji Cacat – Tidaknya
Redaksi Matan dan atau Makna Matan Hadith
Kalau kita lihat pada kajian teori tentang Illat
(cacat) adakalanya pada sanad atau pada matan (redaksi) hadits, dan terdapat pula pada keduanya. Dalam penelitian ini kami simpulkan bahwa
hadits tentang anjuran nikah ini terbebas dari illat dari segi sanad,
karena pada prinsipnya perowi hadits ini adalah para perowi yang tsiqqat, dan sanadnya muttashil.
Kemudian kalau ditinjau dari segi matan,
setelah kami membandingkan dengan hadits lain yang satu tema, kami tidak
menemukan penambahan lafadz pada redaksi atau matan, oleh karena itu
bisa dimpulkan bahwa hadist ini terbebas dari illat dari segi matan atau
redaksi hadist. Di samping itu, matan hadis ini tidak mengandung makna yang
bertentangan dengan akal, bahasa, ilmu pengetahuan dan fakta sejarah.
3. Asbab Wurud al-Hadith
Sejauh yang penulis teliti, ternyata
penulis masih belum menemukan keterangan tentang asbabul wurud hadits
ini, adapun keterangan yang terhimpun hanya sebatas menceritakan bahwa:
1)
Hadits ini diterima oleh Abdullah bin Mas’ud yang waktu
hadits ini disabdakan kepada beliua (Ibnu Mas’ud) dalam keadaan bujang (belum
mempunyai istri) dan dalam masa sebagai pemuda yang tidak mempunyai apa-apa
serta beliau bersama para sahabat lain yang masuk dalam kategori as-syabab,
dibuktikan dengan sabda beliau
2220- أَخْبَرَنَا يَعْلَى حَدَّثَنَا
الأَعْمَشُ عَنْ عُمَارَةَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ قَالَ
عَبْدُ اللَّهِ : كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- شَبَابٌ
لَيْسَ لَنَا شَىْءٌ ، فَقَالَ :« يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ
مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ
لِلْفَرْجِ ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّ الصَّوْمَ
لَهُ وِجَاءٌ ».
Artinya: Abdullah bin Mas’ud berkata: kita bersama-sama Rasulullah
beberapa pemuda yang tidak memunyai apa-apa, maka Rasulullah bersabda: …(artinya sama dengan hadits yang diatas)
Hadits ini diriwayatkan oleh Ad-Darimi dengan kualitas hadits
shahihul isnad[2].
2)
Informasi hadits lain diriwayatkan oleh Usman bahwa Nabi
Muhammad SAW keluar menemuai beberapa orang pemuda, dibuktikan dengan hadits
berikut yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam kitab sunannya dengan kualitas
shahihal isnad:
3219 - أَخْبَرَنَا
عَمْرُو بْنُ زُرَارَةَ قَالَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنَا يُونُسُ
عَنْ أَبِى مَعْشَرٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَلْقَمَةَ قَالَ كُنْتُ مَعَ ابْنِ
مَسْعُودٍ وَهُوَ عِنْدَ عُثْمَانَ رضى الله عنه فَقَالَ عُثْمَانُ خَرَجَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى فِتْيَةٍ [3]-
قَالَ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ فَلَمْ أَفْهَمْ فِتْيَةً كَمَا أَرَدْتُ -
فَقَالَ « مَنْ كَانَ مِنْكُمْ ذَا طَوْلٍ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ
لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لاَ فَالصَّوْمُ لَهُ وِجَاءٌ ».
Artinya: sahabat Usman berkata Nabi Muhammad keluar menemui
beberapa pemuda -Abu Abdillah berkata saya tidak mengerti kata fityah seperti
yang saya maksud- maka Nabi bersabda: barang siapa diantara kalian yang
mempunyai kekuatan/kekayaan maka menikahlah sesungguhnya menikah dapat mencegah dari melihat sesuatu yang terlarang
dan dapat membentengi farji (kemaluan), dan barangsiapa yang belum mampu maka
berpuasalah karena sesungguhnya puasa itu adalah penawar/penekan nafsu syahwat.
Dari beberapa
keterangan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa hadits ini memang
diperuntukkan bagi para pemuda yang telah menginjak dewasa atau pemuda yang
masuk dalam kategori As-Syabab.
4. Sharh al-Hadith
Penelitian syarhul hadits ini, penulis lakukan dengan mengkaji matan
hadits dari kata/kalimat perkalimat matan hadits
melalui beberapa kamus yang relevan, selanjutnya penulis kemukakan beberapa
pendapat ulama yang berkaitan dengan pemaknaan kalimat ini, langkah
selanjutnya penulis komparasikan dengan realita masyarakat pada zaman ini,
sehingga dapat ditemukan makna yang relevan dan dapat landing dimasyarakat
secara umum.
Adapun beberapa kalimat yang penulis
anggap penting adalah sebagai berikut:
1) الشَّبَابِ
Dalam kamus al-Munawwir dijelaskan bahwa kata الشَّبَابِ adalah
bentuk jama’ dari kata الشاب yang
mempunyai arti “pemuda”, kata الشَّبَابِ adalah ismun liljam’i yang
mempunyai akar kata شبَّ يشِبُّ شباباً وشبيبةً , kata ini juga berlaku bagi perempuan seperti pendapatnya ibnu al-a’raby:
وحكى ابن الأَعرابي رَجُل شَبٌّ وامرأَةٌ
شَبَّةٌ يعني من الشَّبابِ
Beberapa pendapat ulama, Pendapat
imam Nawawi[4]:
وَالشَّبَاب : جَمْع شَابّ ، وَيُجْمَع عَلَى شُبَّان
وَشَبَبَة ، وَالشَّابّ عِنْد أَصْحَابنَا هُوَ مَنْ بَلَغَ وَلَمْ يُجَاوِز ثَلَاثِينَ
سَنَة .
Artinya: As-Syabab adalah bentuk jama’ dari kata syabbun, dan
bentuk jama’ lainnya adalah syubab dan syababah, kata as-syab pada zaman
shahabat adalah seseorang yang telah baligh dan belum melampaui umur tiga puluh
tahun.
Pendapat Imam Ibnu
Hibban dalam kitabnya dijelaskan sebagai berikut:
وَهُوَ اِسْم لِمَنْ بَلَغَ إِلَى أَنْ يُكْمِل ثَلَاثِينَ ، هَكَذَا
أَطْلَقَ الشَّافِعِيَّة . وَقَالَ الْقُرْطُبِيّ فِي " الْمُفْهِم "
يُقَال لَهُ حَدَث إِلَى سِتَّة عَشَر سَنَة ، ثُمَّ شَابّ إِلَى اِثْنَتَيْنِ
وَثَلَاثِينَ ثُمَّ كَهْل ، وَكَذَا ذَكَرَ الزَّمَخْشَرِيّ فِي الشَّبَاب
أَنَّهُ مِنْ لَدُنْ الْبُلُوغ إِلَى اِثْنَتَيْنِ وَثَلَاثِينَ ، وَقَالَ اِبْن
شَاس الْمَالِكِيّ فِي " الْجَوَاهِر " إِلَى أَرْبَعِينَ ، وَقَالَ
النَّوَوِيّ : الْأَصَحّ الْمُخْتَار أَنَّ الشَّابّ مَنْ بَلَغَ وَلَمْ يُجَاوِز
الثَّلَاثِينَ ، ثُمَّ هُوَ كَهْل إِلَى أَنْ يُجَاوِز الْأَرْبَعِينَ ، ثُمَّ
هُوَ شَيْخ.
Artinya: As-Syabab adalah nama/istilah/isim bagi seseorang yang
telah baligh sampai seseorang yang akan menyempurnakan umur tiga puluh tahun,
seperti yang dikemukakan oleh imam Syafi’i. al-Qurthuby berpendapat dalam kitab
al-Mufhim dia berkata seseorang yang berusia
muda sampai umur 16 (enam belas) tahun, kemudian syabab (pemuda) sampai
umur tigapuluh dua tahun kemudian kahl (orang dewasa yang berusia antara 30-50
tahun), pendapat ini juga dijustifikasi oleh imam Zamahsyari dalam masalah
syabab yaitu dari permulaan baligh, sampai berumur 32 tahun, Ibnu Syas
al-Maliki dalam kitabnya al-Jawahir berpendapat sampai berumur 40 tahun. Dan
Nawawi berkata bahwa: yang lebih shahih dan yang menjadi pilihan adalah
sesungguhnya assyabab seseorang yang telah baligh dan belum mencapai umur 30
tahun kemudia kahl yang akan mencapai umur 40 tahun kemudian syaikh (seseorang
yang umurnya lebih dari 40 tahun).
Dari beberapa
pendapat diatas dan jika dikomparasikan dengan masa sekarang, peneliti
menjustifikasi pendapatnya Imam al-Qurthuby dengan beberapa argument berikut
ini:
a)
Syab berarti seseorang yang telah baligh karena jika
seseorang belum baligh maka secara biologis dia masih belum membutuhkan
pernikahan atau hubungan sex.
b)
Lafadz Syab tidak cukup diartikan baligh saja
(karena kata baligh dalam arti sempit adalah seseorang yang telah keluar
mani/mimpi basah -bagi laki-laki- dan seorang yang telah haid -bagi perempuan-)
tetapi seseorang yang akan mencapai umur 16 tahun karena pada umur ini seorang
pemuda atau pemudi telah mencapai masa pubernya.
c)
Syab diartikan sebagai seorang remaja yang telah
sampai pada masa kedewasaan yang tentunya telah dapat membedakan mana yang baik
dan mana yang buruk (tamyiz).
d) Syab diartikan sebagai
seseorang yang belum mencapai umur 32 tahun, karena umur 32 tahun ini adalah
puncak dari sifat kedewasaan seseorang sehingga jika dia sudah mencapai atau
lebih dari umur 30 tahun maka istilah yang digunakan adalah kahl
(seseorang yang telah berumur 30 tahun sampai berumur 50 tahun)
2) الْبَاءَةَ
Asal kata dari الْبَاءَةَ adalah باءَ
يَبُوءُ بَوْءاً , yang
mengindikasikan dua makna, yakni nikah dan tempat tinggal. Dalam kitab Lisanul
Arab dijelaskan sebagai berikut:
أَراد بالباءة النكاحَ والتَّزْويج ويقال فلان حَريصٌ
على الباءة أَي على النكاح ويقال الجِماعُ نَفْسُه باءةٌ والأصلُ في الباءةِ
المَنْزِل ثم قيل لِعَقْدِ التزويج باءةٌ لأَنَّ مَن تزوَّج امرأَةً بَوَّأَها
منزلاً
Artinya: Yang dimaksud dengan الْبَاءَةَ
adalah النكاحَ والتَّزْويج dan dikatakan seorang
laki-laki sangat ambisius terhadap ba’ah yakni terhadap nikah, dikatakan pula
bahwa jima’ juga terkandung dalam makna ba’ah. Makna dasar dari kata al-ba’ah
adalah المَنْزِل (rumah atau tempat
tinggal), kemudian dikatakan pula الْبَاءَةَ diartikan untuk akad pernikahan, karena seseorang yang
menikahi perempuan maka dia menyediakan tempat bagi perempuan tersebut untuk
ditempati[5].
Para ulama berbeda pendapat tentang arti dan makna kata
al-baah ini, ada dua pendapat yang sama-sama kuat, yaitu[6]:
Pendapat pertama,
bermakna jima’ (berkumpul atau hubungan sex), dengan perumpaan kalimat:
مَنْ اِسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْجِمَاع لِقُدْرَتِهِ عَلَى
مُؤَنه وَهِيَ مُؤَن النِّكَاح فَلْيَتَزَوَّجْ ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
الْجِمَاع لِعَجْزِهِ عَنْ مُؤَنه فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ لِيَدْفَع شَهْوَته ،
وَيَقْطَع شَرّ مَنِيّه ، كَمَا يَقْطَعهُ الْوِجَاء
Artinya: Barang siapa yang mampu melakukan jima’ (tidak impotent)
karena kuasanya terhadap nafkah nikah, maka menikahlah, dan barang siapa yang
tidak mampu jima’ karena lemahnya (tidak kuasa) terhadap nafkah nikah maka
berpuasalah untuk mengalahkan syahwat, dan memotong menetesnya air mani seperti
al-wija’ (penawar atau penekan nafsu syahwat) memotongnya.
Pendapat kedua, bermakna biaya
pernikahan yang meliputi mahar misl dan nafkah bagi istri, dengan perumpamaan
kalimat:
مَنْ اِسْتَطَاعَ
مِنْكُمْ مُؤَن النِّكَاح فَلْيَتَزَوَّج ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْهَا فَلْيَصُمْ
؛ لِيَدْفَع شَهْوَته
Artinya: Barangsiapa diantara kalian yang kuasa membayar biaya
pernikahan maka menikahlah, dan barang siapa yang tidak kuasa maka berpuasalah
guna melindungi diri dari syahwat.
Terdapat
perdebatan penarik yang patut diketahui oleh pembaca bahwa, Jika diartikan
jima’ (hubungan sex), maka orang yang impotent (الْعَاجِز عَنْ الْجِمَاع) tidak membutuhkan puasa untuk menahan dari syahwat. Namun para
ulama’ pendapat pertama menjawab, jika seseorang kuat melakukan jima’ (dan dia
sangat membutuhkannya) namun tidak kuasa dalam memenuhi biaya pernikahan maka
dia harus puasa (فَعَلَيْهِ
بِالصَّوْمِ).
Dari kedua
pendapat diatas, peneliti mengambil jalan tengah untuk mengartikan makna baah
ini menjadi kekuatan sex dan kekuatan untuk membayar mahar misl dan
menafkahi calon istri, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh beberapa ulama
ahli fiqih. Adapun para ulama ahli fiqih -khususnya kalangan madzhab
As-Syafi’i- menyatakan bahwa arti baah ini adalah seseorang yang mampu
berbuat sex (tidak impotent) dan seseorang yang mampu membayar mahar misl
dan mampu menafkahi sang istri secukupnya selama 24 jam[7].
3) وِجَاءٌ
الوِجَاءٌ adalah
kalimat isim yang dalam kamus al-Munawwir diartikan penawar/penekan
nafsu syahwat[8],
kata dasar dari kalimat ini adalah وَجَأَ- وَجْأً, dalam kamus Lisanul Arab dijelaskan sebagai
berikut:
( وجأ )
الوَجْءُ اللَّكْزُ ووَجَأَه باليد والسِّكِّينِ
Wija’ artinya memukul atau memotong,
memukul arau memotong dengan tangan atau dengan pisau.
An-Nawawi menjelaskan dalam kitabnya
sebagai berikut:
وَأَمَّا ( الْوِجَاء ) فَبِكَسْرِ الْوَاو وَبِالْمَدِّ
، وَهُوَ رَضّ الْخَصِيَتَيْنِ ، وَالْمُرَاد هُنَا : أَنَّ الصَّوْم يَقْطَع
الشَّهْوَة ، وَيَقْطَع شَرّ الْمَنِيّ ، كَمَا يَفْعَلهُ الْوِجَاء .
Artinya: wija’ dengan wawu dibaca kasrah adalah
menumbuk/meremukkan kedua buah pelir (alat kelamin laki-laki), artinya
sesungguhnya puasa itu dapat mencegah/memotong syahwat dan memotong tetesan
mani seperti yang dilakukan wija’
Menurut hemat penulis, kata wija’
ini mengandung beberapa makna sebagai berikut:
a)
Wija’ dapat diartikan secara sempit sebagai sebuah akibat
dari seseorang yang melakukan puasa, yakni dapat menghentikan hawa nafsu.
b)
Wija’ dapat diartikan secara luas sebagai sebuah manfaat
yang disebabkan oleh seseorang melakukan puasa, seperti dapat mencegah dari
perbuatan-perbuatan tercela, dapat menjadi pelipur lara seseorang yang ingin
menikah, dan lain-lain.
C. KESIMPULAN DAN SARAN
1.
Kesimpulan
Anggapan para pemuda tentang
“menikah bukanlah hal mudah” tidak selamanya benar dan tidak 100% salah, karena
menikah memang sebuah misteri ilahi, menikah juga membutuhkan kesiapan mental,
kesiapan biologis disamping kesiapan dalam hal ekonomi (mahar dan nafkah
istri). Oleh karena itu, hadits ini dilihat dari segi matannya merupakan hadits
motifasi bagi para pemuda untuk segera menikah guna membangkitkan semangat para
pemuda menjaga agamanya.
Menikah disamping sebagai ajaran
Islam dan sunah Rasul, memiliki berbagai manfaat yang sangat besar, disinggung
dalam hadits ini dengan menikah seseorang dapat menjaga dirinya dari hal-hal
yang tidak baik (أَغَضُّ
لِلْبَصَرِ) serta dapat
memberikan kontribusi positif bagi kehidupannya khususnya bagi kemaluannya (أَحْصَنُ لِلْفَرْجِ).
Hadits ini juga merupakan hadits
pemberi solusi bagi para pemuda yang belum mampu baik secara fisik maupun
mental untuk menahan diri dengan cara berpuasa, bukan dengan memotong
kemaluannya/mengebiri seperti yang dilakukan oleh beberapa penganut agama lain
seperti penganut agama budha di India dan lain-lain.
Intinya, menikah (seperti yang
diucapkan Imam Malik) adalah sebuah perkara mubah yang sangat disenangi oleh
Allah SWT, sangat dianjurkan oleh agama Islam. Jadi, bagi para pemuda maupun
para pemudi, ayo segeralah menikah!
2.
Saran
Setelah melakukan kajian penelitian hadits ini, setidaknya terdapat
beberapa hal yang ingin direkomendasi/sarankan oleh peneliti, yaitu:
·
Bagi seseorang yang telah memenuhi kriteria Syabbah dan
Ba’ah, segeralah menikah karena dengan menikah maka seseorang akan dapat
menjadi insan yang sempurna baik dari segi pandangan agama maupun dari segi
pandangan umum/masyarakat.
·
Bagi seseorang yang masih belum mampu atau belum masuk
dalam kategori al-Ba’ah (الْبَاءَةَ) berpuasalah dan tunggulah waktu
yang tepat karena jodoh merukan satu dari tiga janji Allah yang pasti akan
ditepati oleh-Nya.
·
Bagi para orang-tua yang memiliki putra ataupun putri
yang telah memebuhi kriteria syabbah dan ba’ah, anjurkanlah
putra-putri anda untuk segera menikah karena menikah adalah perkara yang sangat
dianjurkan oleh agama Islam.
>>>>> و الله اعلم بالصواب>>>>>
[1] 678 - محمد
بن خازم أبو معاوية الضرير قال أحمد بن حنبل لم يرو أبو معاوية عن أبان بن تغلب
إلا حديثا واحدا حديث عبد الله في الحفدة
[2] Lihat juga
beberapa hadits yang menyatakan bahwa Ibnu Mas’ud tidak mempunyai apa-apa di
bab III yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, Imam Ahmad dan lain-lain
[4] Shahibu Sarhun
Nawawi Alal Muslim
[5] Lihat juga
pendapatnya imam Nawawi sebagai berikut:
وَأَصْلهَا
فِي اللُّغَة : الْجِمَاع ، مُشْتَقَّة مِنْ الْمَبَاءَة وَهِيَ الْمَنْزِل ،
وَمِنْهُ مَبَاءَة الْإِبِل ، وَهِيَ مَوَاطِنهَا ، ثُمَّ قِيلَ لِعَقْدِ
النِّكَاح : بَاءَة ؛ لِأَنَّ مَنْ تَزَوَّجَ اِمْرَأَة بَوَّأَهَا مَنْزِلًا .
[6] Ibid
[7] Al-Bajuri
syarhu fathul qarib karya Imam Abi Qasim hal:…
[8] Kamus
al-Munawwir. Hal: 1537
izin copas om
BalasHapus.
BalasHapus.
salam hye admin and new friends at here. please visit my blog http://datoksirkronik.blogspot.my/
.
.